Minggu, 25 Desember 2011

Pujananting Dalam Epos I La Galigo Ternyata “Bukan” Di Barru

Dalam keseharian masyarakat Barru, kita mengenal Pujananting sebagai sebuah Kecamatan Di Kabupaten Barru. Sekalipun tergolong kecamatan baru namun sejarah panjang menunjukkan eksistensi Pujananting sejak dulu hingga kini. Berbagai lika-liku sosial budaa sudah di tempuh oleh masyarakat setempat dalam mengarungi armada kehidupan.

Dalam Epos I la Galigo pula sangat jelas menggambarkan keberadaan Pujanting sebagai suatu kawasan di daerah kabupaten Barru disertai data-data lengap, baik sastra lisan maupun sastra tulisan dan juga masih sangat jelas terlihat situs-situs era Sawrigading yg dimaksud dalam Epos I La galigo.

Sehingga sangatlah lucu ketika Pujananting Barru yang tertera dalam Epos I Lagaligo tersebut adalah Pudjananti (sekarang: Ganti) Donggala Sulawesi Tengah. Pudjananti, Donggala merupakan salah satu dari tiga kerajaan tua di Sulteng se-zaman Majapahit dan Singasari, yakni Kerajaan Banggai (Benggawi) dan Sigi.

Dalam legenda sejarah mereka, Masyarakat Donggala meyakini bahwa daerah Ganti (Pujananti) adalah salah satu daerah jelajah Sawerigading hanya dengan pertimbangan bahwa orang Kaili dalam melafalkan suatu nama berakhiran “ng”, selalu tidak disebutkan, sehingga Pudjananting itulah disebut Pudjananti. Begitu pula sebutan Sawerigading dalam bahasa Bugis orang Kaili mengeja menjadi Sawerigadi dengan menghilangkan “ng”.

Nah, Sungguh sangat lucu ketika hanya dengan argumenasi seperti itu masyrakat Donggala dan Ganti tiba-tiba menggeneralisasi bahwa Pujanting yang dimaksud dalam Sureq Galigo adalah Pujananti di daerah mereka tanpa melihat runut otentiknya. Sementara ada ratusan lontarak atau naskah tua Sul-sel yang sangat valid bila bercerita Pujanating. Naskah Lontarak balusu atau perihal ajjatapreng saja sudah dapat mematahkan argumentasi diatas.

Di adobsi dari: http://barrunews.wordpress.com

Rabu, 21 Desember 2011

Pribahasa BuGis

tEpEtuu mao ePeG, tEpolo msElomoea.
Teppettu maoompennge’, teppolo massellomoe’.

(Tak akan putus yang kendur, tak akan patah yang lentur).
• Artinya: Peringatan agar bijaksana menghadapi suatu permasalahan. Toteransi dan tenggang rasa perlu dipupuk supaya keinginan tercapai tanpa kekerasan.

turukiea ainpEsu pdai tonGiea lopi sEbo.
Turukie’ inapessu, padai tonangie’ lopi sebbok.

(Menuruti hawa nafsu ibarat menumpang perahu bocor).
• Artinya: Jika menuruti hawa nafsu, lenyaplah pengendalian diri. Oleh karena itu, setiap usaha yang dilandasi hawa nafsu, yang berlebihan bisa berakhir dengan kegagalan.

rEb siptoKo, mli siprep ; siruai emRE tE siruai no, mlilu sipkaiGE maiGEpi mupj.
Rebba sipatokkong, mali siparappe’, sirui me’nre tessurui nok, malilusipakainge, maingeppi mupaja.

(Rebah saling menegakkan, hanyut saling mendamparkan, saling menarik ke atas dan tidak saling menekan ke bawah, terlupa saling mengingatkan, nanti sadar atau tertolong barulah berhenti).
• Artinya: Pesan agar orang selalu berpijak dengan teguh dan berdiri kokoh dalam mengarungi kehidupan. Harus tolong-menolong ketika menghadapi rintangan, dan saling mengingatkan untuk menuju ke jalan yang benar. Hal itu akan akan tenwujud masyarakat yang aman dan sejahtera.

pl aurgea, tEbek toGEeG tEcau meagea, tEsieaw siyulea.
Pala uragae’, tebakke’ tongennge’ teccau mae’gae’, tessie’wa siyulae’.

(Berhasil tipu daya, tak akan musnah kebenaran, tak akan kalah yang banyak, tak akan berlawanan yang berpantangan).
• Artinya: Tipu day, mungkin berhasil untuk sementara, tetapi kebenaran tidak akan hilang. Kebenaran akan tetap hidup bersinar terus dalam kalbu manusia karena akan ia datang dari sumber yang hakiki, yaitu Tuhan YME.


troai tElE linoea, tElai epsonku ri msglea.
Taroi telleng linoe’, tellaing pe’sonaku ri masagalae’.

(Biar dunia tenggelam, tak akan berubah keyakinanku kepada Tuhan).
• Artinya: Apapun yang terjadi, keyakinan yang sudah dihayati kebenarannya tidak boleh bergeser, karena segala kesulitan di dunia ini hanyalah tantangan untuk menguji keimanan sescorang.


aj mupoloai aolon tauea.
Ajak mapoloi olona tauwe’.

(Jangan memotong (mengambil) hak orang lain.
• Artinya: Memperjuangkan kehidupan adalah sesuatu yang wajar, tetapi jangan menjadikan perjuangan itu pertarungan dengan kekerasan yaitu saling merampas rezeki orang lain.

nerko mealoko medec ri jm jmmu atGko ri bet lea. aj muaolai betl sigru gruea tutuGi betl mkEsieG tuPun.
Nare’kko mae’lokko made’ceng ri jama-jamammu, attanngakko ri bate’lak-e’. Ajak muolai bate’lak sigaru-garue’, tuttungngi bate’lak makessingnge’ tumpukna

. (Kalau mau berhasil dalam usaha atau pekerjaanmu, amatilah jejak-jejak. Jangan mengikuti jejak yang simpang siur, tetapi ikutlah jejak yang baik urutannya).
• Artinya: Jejak yang simpang siur adalah jejak orang yang tidak tentu arah tujuan. Jejak yang baik urutannya adalah jejak orang yang berhasil dalam kehidupan. Sukses tak dapat diraih dengan semangat saja, melainkan harus dibarengi dengan tujuan yang pasti dan jalan yang benar.


tuupuai n tEri tuRuGi n micw.
Tuppui naterri, turungngi name’cawa.

(Mendaki ia menangis, menurun ia tertawaun).
• Artinya: Setiap keadaan ada timbal baliknya. Ada dua hal yang silih berganti dalam kehidupan. Maka bersiaplah menghadapi dua kemungkinan itu. Jangan takabur (sombong) jika sedang merasakan kebahagiaan, karena nanti akan merasakan kesedihan juga. Demikian pula sebaliknya, jangan terlampau bersedih jika dirundung malang, karena dari situlah proses terjadinya kebahagiaan bakal dimulai.


mN mN muai ealomu tbolo bErE iaiymi npitoko mnu.
Manya manya mui ellokmu tabbollo berrek, iami napittokko manuk.

(Berhati-hatilah dengan hasratmu, kelak tertumpah bagaikan beras lalu engkau dicotok ayam).
• Artinya: Memperlihatkan hasrat yang berlebihan sama halnya nunjukkan kepribadian yang lemah. Dengan menampakkan kelemahan berarti membuka peluang bagi orang yang bermaksud jahat melaksanakan niatnya.

aiy medeceG mbua tsrm.
Ia de’ce’nnge’ mabuang tassanrama.

(Kebaikan itu meski pun jatuh tersangkut jua).
• Artinya: Kebaikan kadang tertutup oleh gelapnya keadaan. Akan tetapi suatu saat akan tampak dalam nurani manusia yang mencintai kebaikan.


siedec edecn ad edea riyolon aEK rimuRi. sijn ad eaK riyolo ed ri muRi.
Side’ce’ng-de’ce’nna ada de’k-e’ riolona, engka rimumnri. Sijakna ada engka riolona de’k-e’ rimunri.

(Sebaik-baiknya bicara ialah yang kurang komentar tetapi didukung oleh kenyataan. Seburuk-buruk bicara adalah yang banyak komentar tetapi tidak didukung oleh kenyataan).
• Artinya: Sedikit bicara tetapi banyak kerja lebih baik daripada banyak bicara tetapi tidak bekerja.


auG tbkea ri subuea nerko noPoki aEso pjni baun.
Unga tabbakkae’ ri subue’ nare’kko nompokni essoe’ pajani baunna.

(Kembang mekar di waktu subuh, di kala matahari terbit baunya pun hilang).
• Artinya: Jangan langsung percaya atau gembira mendengar berita atau janji yang muluk-muluk, sebab berita tersebut mungkin saja tidak sesuai dengan kenyaataan.



ecec pon ekl ekl tEGn spu ri plE cpn.
Cecceng Ponna, kella-kella tenngana, sapuripalek cappakna.

(Serakah awalnya, tamak pertengahannya, licin tandas akhirnya).
• Artinya: Sejauh keserakahan bertambah, sejauh itu pula menghanyutkan yang baik dan akan berakhir dengan kehancuran.


sd mpbti ad, ad mpbti gau, gau mpbti tau.
Sadda mappabati' ada, ada mappabati' gau, gau’ mappabati' tau.

(Bunyi mewujudkan kata, kata menandakan perbuatan, perbuatan menunjukkan manusia).
• Artinya: Kedudukan dan peranan orang Bugis lebih ditentukan oleh perbuatan daripada nama yang bersangkutan. Dengan kata lain, kata dan perbuatan seseorang akan menentukan derajat nilai seseorang dalam masyarakat.


Iyya nanigesara’ ada' 'biyasana buttaya tammattikamo balloka, tanaikatonganngamo jukuka, annyalotongi ase’yo.

(Jika dirusak adat kebiasaan negeri maka tuak berhenti menitik, ikan menghilang pula, dan padi pun tidak menjadi).
• Artinya: Jika adat dilanggar berarti melanggar kehidupan manusia. Akibatnya bukan hanya dirasakan oleh yang bersangkutan, tetapi juga oleh seluruh anggota masyarakat, binatang, tumbuh-tumbuhan, dan alam semesta.


pur bbr soPEku pur tKisi goliku aulEbirEni tElEeG nto wliea.
Pura babbara' sompekku, pura tangkisi' golikku, ulebbirenni tellennge’ nato'walie’
.
(Layarku sudah berkembang, kemudiku sudah terpasang, lebih baik tenggelam daripada kembali).
• Artinya: Semangat yang mengandung makna kehati-hatian dan didasarkan atas acca (mendahulukan pertimbangan yang matang). Pelaut Bugis tak akan berlayar sebelum tiang, jangkar, serta tali-temali diperiksa cermat dan teliti. Di samping itu juga memperhatikan waktu dan musim yang tepat untuk berlayar. Setelah segala sesuatunya meyakinkan, barulah berlayar.

alai eced riesesn aEKai mepedec sePyGi meagea ri esesn aEKai meag mksol
Alai cedde'e risesena engkai mappedeceng, sampeanngi maegae risesena engkai maega makkasolang

. (Ambil yang sedikit jika yang sedikit itu mendatangkan kebaikan, tolak yang banyak apabila yang banyak itu mendatangkan kebinasaan).
• Artinya: Mengambil sesuatu dari tempatnya dan meletakkan sesuatu pada tempatnya, termasuk perbuatan mappasitinaja (kepatutan). Kewajiban yang dibaktikan memperoleh hak yang sepadan merupakan suatu perlakuan yang patut. Banyak atau sedikit tidak dipersoalkan oleh kepatutan, kepantasan, dan kelayakan.


blC mnEmuai wrprmu aebena mnEmuai aiy kiy aj muplaoai modlmu aEREeG beg lbmu.
Balanca manemmui waramparammu, abbeneng manemmui, iyakiya aja' mupalaowi moodala'mu enrennge’ bagelabamu.

(Boleh engkau belanjakan harta bendamu, dan pakai untuk beristri, namun janganlah sampai kamu menghabiskan modal dan labamu).
• Artinya: Peringatan pada para pedagang (pengusaha) agar dalam menggunakan harta tidak berlebihan sehingga kehabisan modal dan membangkrutkan usahanya.



siri eami riaorow ri lino.
Siri'e’ mi rionrowong ri-lino.

(Hanya untuk siri'itu sajalah kita tinggal di dunia).
• Artinya: Dalam pepatah ini ditekankan bahwa siri’ sebagai identitas sosial dan martabat pada orang Bugis, dan jika memiliki martabat itulah, hidup menjadi berarti.

adEea tEmek an tEmek apo.
Ade'e’ temmakke-anak' temmakke’-e’po

. (Adat tak mengenal anak, tak mengenal cucu).
• Artinya: Dalam menjalankan norma-norma adat tidak boleh pilih kasih (tak pandang bulu). Misalnya, anak sendiri jelas-jelas melakukan pelanggaran, maka harus dikenakan sanksi (hukumman) sesuai ketentuan adat yang berlaku.


Ka-antu jekkongan kammai batu nibuanga naung rilikua; na-antu lambu suka kammai bulo ammawanga ri je’ne’ka, nuassakangi poko’na ammumbai appa’na, nuasakangi appa’na ammumbai poko’na.

(kecurangan itu sama dengan batu yang dibuang kedalam lubuk; sedangkan kejujuran laksana bambu yang terapung di air, engkau tekan pangkalnya maka ujungnya timbul, engkau tekan ujungnya maka pangkalnya timbul).
• Artinya: Kecurangan mudah disembunyikan, namun kejujuran akan senantiasa tampak dan muncul ke permukaan.

mtulu pEerjo tEpEtu sirRE pdpi mpEtu iaiy.
Mattulu’ perejo te’pe’ttu siranreng, padapi mape’ettu iya.

(Terjalin laksana tali pengikat batang bajak pada luku yang selalu bertautan, tak akan putus sebelum putus ketiganya)
• Artinya: Ungkapan ini melambangkan eratnya persahabatan. Masing-masing saling mempererat dan memperkuat, sehingga tidak putus jalinannya. Apabila putus satu, maka semua putus.


naiy riysEeG pnw nw mpciGi riatin spai ri nwnan nloloGEGi sinin adea aEREeG gauea npoelai j aEREeG npoelai edec.
Naia riyasennge’ pannawanawa, mapaccingi riatinna, sappai rinawanawanna, nalolongenngi sininna adae’ enrenge’ gau’e’ napolei’ ja’ enrenge’ napolei’ de’ceng

.(Cendekiawan (pannawanawa) ialah orang yang ikhlas, yang pikirannya selalu mencari-cari samapai dia menemukan pemecahan persoalan yang dihadapi demikian pula perbuatan yang menjadi sumber bencana dan sumber kebajikan).
• Artinya: Ungkapan ini menggambarkan posisi orang pandai di masyarakatnya.


aj mumtEbE ad ap aiytu adea meag bEtuwn muatutuaiwi lilmu ap iaiy lilea pewrE ewrE.
Aja' mumatebek ada, apak iyatu adae’ mae’ga bettuwanna. Muatutuiwi lilamu, apak iya lilae’ pawere’-were’.

(Jangan banyak bicara, sebab bicara itu banyak artinya. Jaga lidahmu, sebab lidah itu sering mengiris).
• Artinya: Peringatan agar setiap orang selalu menjaga kata-kata yang diucapkan jangan sampai menyakiti hati orang lain.

aju mluruea mi riwl perw bol.
Aju malurue’mi riala parewa bola.

(Hanyalah kayu yang lurus dijadikan ramuan rumah).
• Artinya: Rumah sebagai perlambang dad pemimpin yang melindungi rakyat. Hanya orang yang memiliki sitat jujur yang layak dijadikan pemimpin, agar yang bersangkutan dapat menjalankan fungsi perannya dengan baik.


duuw lalE tEPEdi ri yol aiynritu llEn psriea aEREeG llEn p golea.
Duwa laleng tempekding riola, iyanaritu lalenna passarie’ enrennge’ lalenna. Paggollae’.

(Dua cara tak dapat ditiru, ialah cara penyadap enau dan cara pembuat gula merah).
• Artinya: Jalan yang ditempuh penyadap enau tidak tentu, kadang dari pohon ke pohon lain melalui pelepah atau semak belukar, sehingga dikiaskan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan. Pembuat gula merah umumnya tak menghiraukan kebersihan, lantaran itu banyak tak diketahui orang.



Lapa nakulle’ taue’ mabbaina narekko naulle’ni magguli-lingiwi dapurenge’ we’kka pitu.
(Apabila se orang ingin beristeri, harus sanggup mengelilingi dapur tujuh kali).
• Artinya: Di sini dapur merupakan perlambang dari masalah pokok data, kehidupan rumah tangga. Sedangkan tujuh kali merupakan padanan terhadap jumlah hari yang juga tujuh (Senin sampai Minggu). Maksudnya, sebelum berumah tangga harus memiliki kesanggupan memikul tanggung jawab menghidupi keluarga setiap hari.


ed nlbu aEsoea ri tEGn bitrea.
De’k nalabu essoe’ ri tenngana bitarae’.

(Tak akan tenggelam matahari di tengah langit).
• Artinya: Manusia tidak akan mati sebelum takdirnya sampai. Oleh karena itu, keraguan harus disingkirkan dalam menghadapi segala tantangan hidup.


jgai wi blimu sisE mualitutuai rGEmu ewk sEpulo nsb rGEmu ritu bias mCji bli.
Jagaiwi balimmu siseng mualitutui rangemmu wekka seppulo nasaba rangemmu ritu biasa mancaji bali.

(Jagalah lawanmu sekali dan jagalah sekutumu sepuluh kali lipat sebab sekutu itu bisa menjadi lawan).
• Artinya: Terhadap lawan sikap kita sudah jelas, namun yang harus lebih diwaspadai jangan sampai ada kawan berkhianat. Sebab, lawan menjadi bertambah dan membuat posisi rentan karena yang bersangkutan mengetahui rahasia (kelemahan) kita.



lEbi ai cau caurEeG n pElorEeG.
Lebbik-i cau-caurennge’ napellorennge’.

(Lebih baik sering kalah daripada pengecut).
• Artinya: Orang yang sering kalah, masih memiliki semangat juang meskipun lemah dalam menghadapi tantangan. Sedangkan seorang pengecut, sama sekali tak memiliki keberanian ataupun semangat untuk berusaha menghadapi tantangan.


mlai bukurup ri cauea mplib ri mej ri pGRoea.
Malai bukurupa ricau’e, mappalimbang ri maje’ ripanganroe’.

(Memalukan kalau dikalahkan, mematikan kalau ditaklukkan).
• Artinya: Dikalahkan karena keadaan memaksa memang memalukan. Sedangkan takluk sama halnya menyerahkan seluruh harga diri, dan orang yang tidak memiliki harga diri sama halnya mati.


naiy tau mlEPuea mGuru mnai tau sogiea.
Naiya tau malempuk-e’ manguruk manak-i tau sugi-e.

(Orang jujur sewarisan dengan rang kaya).
• Artinya: Orang jujur tidak sutit memperoleh kepercayaan dari orang kaya karena kejujurannya.


mess pG tEmess api mess api tE mess botorE.
Masse’sa panga, temmase’sa api, masse’sa api temmas’esa botoreng.

(Bersisa pencuri tak bersisa api, bersisa api tak barsisa penjudi).
• Artinya: Sepintar-pintarnya pencuri, dia tidak mampu mengambil semua barang (misalnya mengambil rumah atau tanah). Akan tetapi sebesar-besarnya kebakaran hanya mampu menghancurkan barang-barang (tanah masih utuh). Akan tetapi seorang penjudi dapat menghabiskan seluruh barang miliknya (termasuk tanah dalam waktu singkat).

mau meag pbiesn nboGo po lopin etaw n lurE.
Mau mae’ga pabbise’na nabonngo ponglopinna te’a wa' nalureng.
(Biar banyak pendayungnya, tetapi badoh juru mudinya takkan ku jadi penumpangnya).
• Artinya: Kebahagiaan rumah tangga ditentukan oleh banyak ha , tetapi yang paling menentukan adalah kecakapan dan rasa tanggung jawab kepala rumah tangga itu sendiri.


naiy acea riptopoki ejko agto aliri etyai mrEdu mpoloai.
Naiya accae ripatoppoki je’kko, aggato aliri, nare’kko te’yai maredduk, mapoloi.

(Kepandaian yang disertai kecurangan ibarat tiang rumah, lalu tidak tercerabut ia akan patah).
• Artinya: Di Bugis, tiang rumah dihubungkan satu dengan yang lain menggunakan pasak. Jika pasak itu bengkok sulit masuk ke dalam lubang tiang, dan patah kalau dipaksakan. Kiasan terhadap orang pandai tetapi tidak jujur. Ilmunya tak akan mendatangkan kebaikan (berkah), bahkan dapat membawa bencana (malapetaka).


nerko mealoko tikE esauw aolokolo spai betln. nerko del spai meagn betl tau.
Narekko mae’lokko tikkeng se’uwa olokolok sappak-i bate’lana. Narekko sappakko dalle’k sappak-i mae’gana bate’la tau.

(Kalau ingin menangkap seekor binatang, carilah jejaknya. Kalau mau rezeki, carilah di mana banyak jejak manusia).
Artinya: Pada hakikatnya, manusialah yang menjadi pengantar rezeki, sehingga di mana banyak manusia akan ditemui banyak rezeki.

Sejarah Berdirinya Suku Bugis di Indonesia

Bugis adalah suku yang tergolong ke dalam suku-suku Deutero Melayu. Masuk ke Nusantara setelah gelombang migrasi pertama dari daratan Asia tepatnya Yunan. Kata “Bugis” berasal dari kata To Ugi, yang berarti orang Bugis. Penamaan “ugi” merujuk pada raja pertama kerajaan Cina yang terdapat di Pammana, Kabupaten Wajo saat ini, yaitu La Sattumpugi.

Ketika rakyat La Sattumpugi menamakan dirinya, maka mereka merujuk pada raja mereka. Mereka menjuluki dirinya sebagai To Ugi atau orang-orang atau pengikut dari La Sattumpugi. La Sattumpugi adalah ayah dari We Cudai dan bersaudara dengan Batara Lattu, ayahanda dari Sawerigading. Sawerigading sendiri adalah suami dari We Cudai dan melahirkan beberapa anak termasuk La Galigo yang membuat karya sastra terbesar di dunia dengan jumlah kurang lebih 9000 halaman folio.

Sawerigading Opunna Ware (Yang dipertuan di Ware) adalah kisah yang tertuang dalam karya sastra I La Galigo dalam tradisi masyarakat Bugis. Kisah Sawerigading juga dikenal dalam tradisi masyarakat Luwuk, Kaili, Gorontalo dan beberapa tradisi lain di Sulawesi seperti Buton.

Perkembangan
Dalam perkembangannya, komunitas ini berkembang dan membentuk beberapa kerajaan. Masyarakat ini kemudian mengembangkan kebudayaan, bahasa, aksara, dan pemerintahan mereka sendiri. Beberapa kerajaan Bugis klasik antara lain Luwu, Bone, Wajo, Soppeng, Suppa, Sawitto, Sidenreng dan Rappang. Meski tersebar dan membentuk suku Bugis, tapi proses pernikahan menyebabkan adanya pertalian darah dengan Makassar dan Mandar.


Saat ini orang Bugis tersebar dalam beberapa Kabupaten yaitu Luwu, Bone, Wajo, Soppeng, Sidrap, Pinrang, Sinjai, Barru. Daerah peralihan antara Bugis dengan Makassar adalah Bulukumba, Sinjai, Maros, Pangkajene Kepulauan. Daerah peralihan Bugis dengan Mandar adalah Kabupaten Polmas dan Pinrang. Kerajaan Luwu adalah kerajaan yang dianggap tertua bersama kerajaan Cina (yang kelak menjadi Pammana), Mario (kelak menjadi bagian Soppeng) dan Siang (daerah di Pangkajene Kepulauan)

Masa Kerajaan Bone

Di daerah Bone terjadi kekacauan selama tujuh generasi, yang kemudian muncul seorang To Manurung yang dikenal Manurungnge ri Matajang. Tujuh raja-raja kecil melantik Manurungnge ri Matajang sebagai raja mereka dengan nama Arumpone dan mereka menjadi dewan legislatif yang dikenal dengan istilah ade pitue.


Kerajaan Makassar
Di abad ke-12, 13, dan 14 berdiri kerajaan Gowa, Soppeng, Bone, dan Wajo, yang diawali dengan krisis sosial, dimana orang saling memangsa laksana ikan. Kerajaan Makassar kemudian terpecah menjadi Gowa dan Tallo. Tapi dalam perkembangannya kerajaan kembar ini kembali menyatu menjadi kerajaan Makassar.

Kerajaan Soppeng

Di saat terjadi kekacauan, di Soppeng muncul dua orang To Manurung. Pertama, seorang wanita yang dikenal dengan nama Manurungnge ri Goarie yang kemudian memerintah Soppeng ri Aja. dan kedua, seorang laki-laki yang bernama La Temmamala Manurungnge ri Sekkanyili yang memerintah di Soppeng ri Lau. Akhirnya dua kerajaan kembar ini menjadi Kerajaaan Soppeng.

Kerajaan Wajo
Sementara kerajaan Wajo berasal dari komune-komune dari berbagai arah yang berkumpul di sekitar danau Lampulungeng yang dipimpin seorang yang memiliki kemampuan supranatural yang disebut puangnge ri lampulung. Sepeninggal beliau, komune tersebut berpindah ke Boli yang dipimpin oleh seseorang yang juga memiliki kemampuan supranatural. Datangnya Lapaukke seorang pangeran dari kerajaan Cina (Pammana) beberapa lama setelahnya, kemudian membangun kerajaan Cinnotabi. Selama lima generasi, kerajaan ini bubar dan terbentuk Kerajaan Wajo.

Konflik antar Kerajaan

Pada abad ke-15 ketika kerajaan Gowa dan Bone mulai menguat, dan Soppeng serta Wajo mulai muncul, maka terjadi konflik perbatasan dalam menguasai dominasi politik dan ekonomi antar kerajaan. Kerajaan Bone memperluas wilayahnya sehingga bertemu dengan wilayah Gowa di Bulukumba. Sementara, di utara, Bone bertemu Luwu di Sungai Walennae. Sedang Wajo, perlahan juga melakukan perluasan wilayah. Sementara Soppeng memperluas ke arah barat sampai di Barru.

Perang antara Luwu dan Bone dimenangkan oleh Bone dan merampas payung kerajaan Luwu kemudian mempersaudarakan kerajaan mereka. Sungai Walennae adalah jalur ekonomi dari Danau Tempe dan Danau Sidenreng menuju Teluk Bone. Untuk mempertahankan posisinya, Luwu membangun aliansi dengan Wajo, dengan menyerang beberapa daerah Bone dan Sidenreng. Berikutnya wilayah Luwu semakin tergeser ke utara dan dikuasai Wajo melalui penaklukan ataupun penggabungan. Wajo kemudian bergesek dengan Bone. Invasi Gowa kemudian merebut beberapa daerah Bone serta menaklukkan Wajo dan Soppeng. Untuk menghadapi hegemoni Gowa, Kerajaan Bone, Wajo dan Soppeng membuat aliansi yang disebut “tellumpoccoe”.

Minggu, 04 September 2011

TiKUSku berDasi

Adakah kini orang Jujur
Untuk negara kita yang hancur
Adakah kini orang jujur
Untuk Rakyat yang kian hancur

Para pejabat yang sering syukur
kini engkau sang pembuat hancur

Dimana kesejahteraan kita
yang kini kian makin merata
mana janjimu wahai orang tua
yang duduk di kursi pemerintah

rakyat kecil dibawah sana
menanti kehidupan yang nyata

Koruptor berdasi
jangan makan nasi
engkau hidup disisi-sisi
Rakyat yang makan hati

Sitikus yang duduk dikursi
kian beraksi makin menjadi
Perut buncit mu menjadi saksi

semua tingkahmu yang kan bersaksi
menjadi saksi dikursi mati

Rabu, 31 Agustus 2011

▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
---------------------Belajar NgeBlog----------------------
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬

Takbir kemenangan telah berkumandang, hari yang penuh berkah telah kita tinggalkan, hanya kelapangan hati tuk memaafkan
Gema takbir tlah berkumandang tanda kemenangan yang tlah tercapai
Senandung asma Allah menghiasi malam menghampiri fajar menyambut hari kemenangan. Jabat tangan penuh kasih, eratkan tali silaturrahim
Tak ujung lidah yang berucap salah dan tingkah yang berpongah, kususun jari sepuluhKejernihan hati akan terpancar dalam diri kita kalau mau saling memaafkan antar sesame umat muslim. Kita putihkan hati dan beningkan jiwa
Jiwa yang suci dari sang maha suci, tapi sering kali ternoda oleh dosa pada insane. Sucikan jiwa dengan saling memaafkan..
Belajar nGeBlog mengucapkan
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
S E L A M A T HARI RAYA IDUL FITRI 1 4 3 2 H
MOHON MAAF LAHIR DAN BATIN
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬

Sabtu, 20 Agustus 2011

Siapakah Pribumi Asli Nusantara ?


    Kembali ke masa prasejarah, penduduk wilayah Nusantara hanya terdiri dari dua golongan yakni Pithecantropus Erectus beserta manusia Indonesia purba lainnya dan keturunan bangsa pendatang di luar Nusantara yang datang dalam beberapa gelombang.
Berdasarkan fosil-fosil yang telah ditemukan di wilayah Indonesia, dapat dipastikan bahwa sejak 2.000.000 (dua juta) tahun yang lalu wilayah ini telah dihuni. Penghuninya adalah manusia-manusia purba dengan kebudayaan batu tua atau mesolithicum seperti Meganthropus Palaeo Javanicus, Pithecanthropus Erectus, Homo Soloensis dan sebagainya. Manusia-manusia purba ini sesungguhnya lebih mirip dengan manusia-manusia yang kini dikenal sebagai penduduk asli Australia.

Dengan demikian, yang berhak mengklaim dirinya sebagai “penduduk asli Indonesia” adalah kaum Negroid, atau Austroloid, yang berkulit hitam. Manusia Indonesia purba membawa kebudayaan batu tua atau palaeolitikum yang masih hidup secara nomaden atau berpindah dengan mata pencaharian berburu binatang dan meramu. Wilayah Nusantara kemudian kedatangan bangsa Melanesoide yang berasal dari teluk Tonkin, tepatnya dari Bacson-Hoabinh. Dari artefak-artefak yang ditemukan di tempat asalnya menunjukan bahwa induk bangsa ini berkulit hitam berbadan kecil dan termasuk type Veddoid-Austrolaid.
Bangsa Melanesoide dengan kebudayaan mesolitikum yang sudah mulai hidup menetap dalam kelompok, sudah mengenal api, meramu dan berburu binatang.Teknologi pertanian juga sudah mereka genggam sekalipun mereka belum dapat menjaga agar satu bidang tanah dapat ditanami berkali-kali. Cara bertani mereka masih dengan sistem perladangan. Dengan demikian, mereka harus berpindah ketika lahan yang lama tidak bisa ditanami lagi atau karena habisnya makanan ternak. Gaya hidup ini dinamakan semi nomaden. Dalam setiap perpindahan manusia beserta kebudayaan yang datang ke Nusantara, selalu dilakukan oleh bangsa yang tingkat peradabannya lebih tinggi dari bangsa yang datang sebelumnya.
Dari semua gelombang pendatang dapat dilihat bahwa mereka adalah bangsa-bangsa yang mulai bahkan telah menetap. Jika kehidupannya mereka masih berpindah, maka perpindahan bukanlah sesuatu hal yang aneh. Namun dalam kehidupan yang telah menetap, pilihan untuk meninggalkan daerah asal bukan tanpa alasan yang kuat. Ketika kehidupan mulai menetap maka yang pertama dan yang paling dibutuhkan adalah tanah sebagai media untuk tetap hidup. Mereka sangat membutuhkan tanah yang luas karena teknologi pertaniannya masih rendah. Mereka belum sanggup menjaga, apalagi meningkatkan, kesuburan tanah. Mereka membutuhkan sistem pertanian yang ekstensif, dan perpindahan untuk penguasaan lahan-lahan baru setiap jangka waktu tertentu. Sebelum didatangi bangsa-bangsa pengembara dari luar, tanah di Nusantara belum menjadi kepemilikan siapapun.
Hal ini berbeda dengan Manusia Indonesia Purba yang tidak memerlukan tanah sebagai modal untuk hidup karena mereka berpindah-pindah. Ketika sampai di satu tempat yang dilakukannya adalah mengumpulkan makanan (food gathering). Biasanya tempat yang dituju adalah lembah-lembah atau wilayah yang terdapat aliran sungai untuk mendapatkan ikan atau kerang (terbukti dengan ditemukannya fosil-fosil manusia purba di wilayah Nusantara di lembah-lembah sungai) walaupun tidak tertutup kemungkinan ada pula yang memilih mencari di pedalaman. Ketika bangsa Melanesoide datang, mereka mulai menetap walaupun semi nomaden. Mereka akan pindah jika sudah tidak mendapatkan lagi makanan. Maka pilihan atas tempat-tempat yang akan ditempatinya adalah tanah yang banyak menghasilkan. Wilayah aliran sungai pula yang akan menjadi targetannya. Padahal, wilayah ini adalah juga wilayah di mana para penduduk asli mengumpulkan makanannya.
Ini mengakibatkan benturan yang tidak terelakan antara kebudayaan palaeolithikum dengan kebudayaan yang mesolithikum. Alat-alat sederhana seperti kapak genggam atau choppers, alat-alat tulang dan tanduk rusa berhadapan dengan kapak genggam yang lebih halus atau febble, kapak pendek dan sebagainya. Pertemuan ini dapat mengakibatkan beberapa hal yaitu:
1. Penduduk asli ditumpas, atau
2. Mereka diharuskan masuk dan bersembunyi di pedalaman untuk menyelamatkan diri, atau
3. Mereka yang ditaklukkan dijadikan hamba, dan kaum perempuannya dijadikan harem-harem untuk melayani para pemenang perang.
Sekitar tahun 2000 SM, bangsa Melanesoide yang akhirnya menetap di Nusantara kedatangan pula bangsa yang kebudayaannya lebih tinggi yang berasal dari rumpun Melayu Austronesia yakni bangsa Melayu Tua atau Proto Melayu, suatu ras mongoloid yang berasal dari daerah Yunan, dekat lembah sungai Yang Tze, Cina Selatan. Alasan-alasan yang me-nyebabkan bangsa Melayu tua meninggalkan asalnya yaitu :
1. Adanya desakan suku-suku liar yang datangnya dari Asia Tengah;
2. Adanya peperangan antar suku;
3. Adanya bencana alam berupa banjir akibat sering meluapnya sungai She Kiang dan sungai-sungai lainnya di daerah tersebut.
Suku-suku dari Asia tengah yakni Bangsa Aria yang mendesak Bangsa Melayu Tua sudah pasti memiliki tingkat kebudayaan yang lebih tinggi lagi. Bangsa Melayu Tua yang terdesak meninggalkan Yunan dan yang tetap tinggal bercampur dengan Bangsa Aria dan Mongol. Dari artefak yang ditemukan yang berasal dari bangsa ini yaitu kapak lonjong dan kapak persegi.Kapak lonjong dan kapak persegi ini adalah bagian dari kebudayaan Neolitikum. Ini berarti orang-orang Melayu Tua, telah mengenal budaya bercocok tanam yang cukup maju dan bukan mustahil mereka sudah beternak. Dengan demikian mereka telah dapat menghasilkan makanan sendiri (food producing). Kemampuan ini membuat mereka dapat menetap secara lebih permanen.
Pola menetap ini mengharuskan mereka untuk mengembangkan berbagai jenis kebudayaan awal. Mereka juga mulai membangun satu sistem politik dan pengorganisasian untuk mengatur pemukiman mereka.
Pengorganisasian ini membuat mereka sanggup belajar membuat peralatan rumah tangga dari tanah dan berbagai peralatan lain dengan lebih baik. Mereka mengenal adanya sistim kepercayaan untuk membantu menjelaskan gejala alam yang ada sehubungan dengan pertanian mereka. Sama seperti yang terjadi terdahulu, pertemuan dua peradaban yang berbeda kepentingan ini, mau tidak mau, melahirkan peperangan-peperangan untuk memperebutkan tanah. Dengan pengorganisiran yang lebih rapi dan peralatan yang lebih bermutu, kaum pendatang dapat mengalahkan penduduk asli. Kebudayaan yang mereka usung kemudian menggantikan kebudayaan penduduk asli. Sisa-sisa pengusung kebudayaan Batu Tua kemudian menyingkir ke pedalaman. Beberapa suku bangsa merupakan keturunan dari para pelarian ini, seperti suku Sakai, Kubu, dan Anak Dalam.
Arus pendatang tidak hanya datang dalam sekali saja. Pihak-pihak yang kalah dalam perebutan tanah di daerah asalnya akan mencari tanah-tanah di wilayah lain. Demikian juga yang menimpa bangsa Melayu Tua yang sudah mengenal bercocok tanam, beternak dan menetap. Kembali lagi, daerah subur dengan aliran sungai atau mata air menjadi incaran.
Wilayah yang sudah mulai ditempati oleh bangsa melanesoide harus diperjuangkan untuk dipertahankan dari bangsa Melayu Tua.Tuntutan budaya yang sudah menetap mengharuskan mereka mencari tanah baru. Dengan modal kebudayaan yang lebih tinggi, bangsa Melanesoide harus menerima kenyataan bahwa telah ada bangsa penguasa baru yang menempati wilayah mereka.
Namun kedatangan bangsa Melayu Tua ini juga memungkinkan terjadinya percampuran darah antara bangsa ini dengan bangsa Melanesia yang telah terlebih dahulu datang di Nusantara. Bangsa Melanesia yang tidak bercampur terdesak dan mengasingkan diri ke pedalaman. Sisa keturunannya sekarang dapat didapati orang-orang Sakai di Siak, Suku Kubu serta Anak Dalam di Jambi dan Sumatera Selatan, orang Semang di pedalaman Malaya, orang Aeta di pedalaman Philipina, orang-orang Papua Melanesoide di Irian dan pulau-pulau Melanesia.
Pada gelombang migrasi kedua dari Yunan di tahun 2000-300 SM, datanglah orang-orang Melayu Tua yang telah bercampur dengan bangsa Aria di daratan Yunan. Mereka disebut orang Melayu Muda atau Deutero Melayu dengan kebudayaan perunggunya. Kebudayaan ini lebih tinggi lagi dari kebudayaan Batu Muda yang telah ada karena telah mengenal logam sebagai alat perkakas hidup dan alat produksi. Kedatangan bangsa Melayu Muda mengakibatkan bangsa Melayu Tua yang tadinya hidup di sekitar aliran sungai dan pantai terdesak pula ke pedalaman karena kebudayaannya kalah maju dari bangsa Melayu Muda dan kebudayaannya tidak banyak berubah. Sisa-sisa keturunan bangsa melayu tua banyak ditemukan di daerah pedalaman seperti suku Dayak, Toraja, orang Nias, batak pedalaman, Orang Kubu dan orang Sasak. Dengan menguasai tanah, Bangsa Melayu Muda dapat berkembang dengan pesat kebudayaannya bahkan menjadi penyumbang terbesar untuk cikal-bakal bangsa Indonesia sekarang.
Dari seluruh pendatang yang pindah dalam kurun waktu ribuan tahun tersebut tidak seluruhnya menetap di Nusantara. Ada juga yang kembali bergerak ke arah Cina Selatan dan kemudian kembali ke kampung halaman dengan membawa kebudayaan setempat atau kembali ke Nusantara. Dalam kedatangan-kedatangan tersebut penduduk yang lebih tua menyerap bahasa dan adat para imigran. Jarang terjadi pemusnahan dan pengusiran bahkan tidak ada penggantian penduduk secara besar-besaran. Percampuran-percampuran inilah yang menjadi cikal bakal Nusantara yang telah menjadi titik pertemuan dari ras kuning (mongoloid) yang bermigrasi ke selatan dari Yunan, ras hitam yang dimiliki oleh bangsa Melanesoide dan Ceylon dan ras putih anak benua India.
Sehingga tidak ada penduduk atau ras asli wilayah Nusantara kecuali para manusia purba yang ditemukan fosil-fosilnya. Kalaupun memang ada penduduk asli Indonesia maka ia terdesak terus oleh pendatang-pendatang boyongan sehingga secara historis-etnologis terpaksa punah atau dipunahkan dalam arti sesungguhnya atau kehilangan ciri-ciri kebudayaannya dan terlebur di dalam masyarakat baru. Semua adalah bangsa-bangsa pendatang.
Kepustakaan
D. G. E. Hall. 1988Sejarah Asia Tenggara. . Surabaya-Usaha Nasional.
Stanley. 1998Makalah Arus Dari Utara. Tidak diterbitkan
Simbolon, T. Parakitri. 1995.. Menjadi Indonesia, buku I “Akar-akar kebangsaan Indonesia”. Jakarta-Kompas-Grasindo.
Prijohutomo & P.J. Reimer. Tentang Orang dan Kejadian Jang Besar Djilid I. Tjet.V. Djakarta-Amnsterdam: W.Versluys N.V.
Ananta Toer, Pramoedya.1998. Hoakiau di Indonesia. Jakarta-Garba Budaya.
(Sumber: http://wacananusantara.org/content/view/category/2/id/261)

SEJARAH BERDIRINYA NEGARA REPUBLIK INDONESIA


    
Proklamasi  Kemerdekaan, yang kita peringati setiap tanggal 17 Agustus, adalah sebuah               peristiwa bersejarah bagi bangsa Indonesia . Proklamasi, telah mengubah  perjalanan sejarah, membangkitkan rakyat dalam semangat kebebasan. Merdeka dari segala bentuk penjajahan.
 Bagaimanakah sesungguhnya, peristiwa yang terjadi 64 tahun yang lalu itu. Mari kita buka kembali catatan sejarah sekitar Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945.
Perdebatan
Proklamasi, ternyata didahului oleh perdebatan hebat antara golongan pemuda dengan golongan tua. Baik golongan tua maupun golongan muda, sesungguhnya sama-sama menginginkan secepatnya dilakukan Proklamasi Kemerdekaan dalam suasana kekosongan kekuasaan dari tangan pemerintah Jepang. Hanya saja, mengenai cara melaksanakan proklamasi  itu terdapat perbedaan pendapat. Golongan tua, sesuai dengan perhitungan politiknya, berpendapat bahwa Indonesia dapat merdeka tanpa pertumpahan darah, jika tetap bekerjasama dengan Jepang.

Karena itu, untuk memproklamasikan kemerdekaan, diperlukan suatu revolusi yang terorganisir. Soekarno dan Hatta, dua tokoh golongan tua, bermaksud membicarakan pelaksanaan Proklamasi Kemerdekaan dalam rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Dengan cara itu, pelaksanaan Proklamasi Kemerdekaan tidak menyimpang dari ketentuan pemerintah Jepang. Sikap inilah yang tidak disetujui oleh golongan pemuda. Mereka menganggap, bahwa PPKI adalah badan buatan Jepang. Sebaliknya, golongan pemuda menghendaki terlaksananya Proklamasi Kemerdekaan itu, dengan kekuatan sendiri. Lepas sama  sekali  dari campur tangan pemerintah Jepang. Perbedaan pendapat ini, mengakibatkan penekanan-penekanan golongan pemuda kepada golongan  tua  yang  mendorong  mereka  melakukan “aksi penculikan” terhadap diri Soekarno-Hatta (lihat  Marwati Djoened Poesponegoro, ed. 1984:77-81)
Tanggal 15 Agustus 1945, kira-kira pukul 22.00, di Jalan Pegangsaan Timur No. 56 Jakarta, tempat  kediaman Bung Karno, berlangsung  perdebatan   serius antara sekelompok pemuda dengan Bung Karno mengenai Proklamasi Kemerdekaan sebagaimana dilukiskan Lasmidjah Hardi (1984:58); Ahmad Soebardjo (1978:85-87) sebagai berikut:
” Sekarang  Bung, sekarang! malam ini  juga  kita kobarkan revolusi !” kata Chaerul Saleh dengan meyakinkan  Bung Karno bahwa ribuan  pasukan bersenjata sudah siap mengepung kota dengan maksud mengusir tentara Jepang. ” Kita  harus segera merebut  kekuasaan !” tukas Sukarni berapi-api. ” Kami sudah siap mempertaruhkan jiwa kami !” seru mereka bersahutan. Wikana malah berani mengancam Soekarno dengan pernyataan; ” Jika Bung Karno  tidak mengeluarkan pengumuman pada malam  ini  juga, akan berakibat terjadinya suatu pertumpahan darah dan pembunuhan besar-besaran esok hari .”
Mendengar kata-kata ancaman seperti itu, Soekarno naik darah dan berdiri menuju Wikana sambil  berkata:  ” Ini batang leherku, seretlah saya ke  pojok itu dan potonglah leherku malam ini juga! Kamu tidak usah menunggu esok hari !”. Hatta kemudian memperingatkan Wikana; “… Jepang adalah masa silam. Kita sekarang harus  menghadapi Belanda yang akan berusaha untuk kembali menjadi tuan di negeri kita ini. Jika saudara tidak setuju dengan  apa yang telah saya katakan, dan mengira bahwa saudara telah siap dan sanggup untuk memproklamasikan kemerdekaan, mengapa saudara tidak memproklamasikan kemerdekaan  itu sendiri ? Mengapa meminta Soekarno untuk  melakukan hal itu ?”
Namun, para pemuda terus mendesak; ” apakah kita harus menunggu hingga kemerdekaan itu diberikan  kepada kita sebagai hadiah, walaupun Jepang sendiri  telah menyerah dan telah  takluk  dalam ‘Perang Sucinya ‘!”. ” Mengapa bukan rakyat itu sendiri yang memprokla masikan kemerdekaannya ? Mengapa bukan kita yang menyata kan kemerdekaan kita sendiri, sebagai suatu bangsa ?”. Dengan lirih, setelah amarahnya reda, Soekarno berkata; “… kekuatan yang segelintir ini tidak cukup untuk melawan kekuatan bersenjata dan  kesiapan total tentara  Jepang! Coba, apa yang  bisa  kau perlihatkan kepada saya ?  Mana bukti kekuatan yang diperhitungkan itu ? Apa tindakan bagian keamananmu untuk menyelamatkan perempuan dan anak-anak ? Bagaimana cara mempertahankan kemerdekaan setelah  diproklamasikan ? Kita tidak akan mendapat bantuan dari Jepang  atau Sekutu. Coba bayangkan, bagaimana kita akan tegak di atas kekuatan sendiri “. Demikian jawab Bung Karno dengan tenang.
Para pemuda, tetap menuntut agar Soekarno-Hatta segera memproklamasikan kemerdekaan. Namun, kedua tokoh itu pun, tetap pada pendiriannya semula. Setelah berulangkali didesak oleh para pemuda, Bung Karno menjawab bahwa ia tidak  bisa memutuskannya sendiri, ia harus berunding dengan para tokoh lainnya. Utusan pemuda mempersilahkan Bung Karno untuk berunding. Para tokoh yang hadir pada  waktu itu antara lain, Mohammad Hatta, Soebardjo, Iwa Kusumasomantri,  Djojopranoto, dan Sudiro. Tidak lama kemudian, Hatta menyampaikan keputusan, bahwa  usul para  pemuda tidak dapat diterima dengan alasan kurang perhitungan serta kemungkinan  timbulnya  banyak korban jiwa dan harta. Mendengar penjelasan Hatta, para pemuda  nampak tidak puas. Mereka mengambil  kesimpulan yang  menyimpang; menculik Bung Karno dan Bung Hatta dengan maksud menyingkirkan  kedua tokoh itu dari pengaruh Jepang.
Pukul 04.00 dinihari, tanggal 16 Agustus 1945, Soekarno dan Hatta oleh sekelompok pemuda dibawa ke Rengasdengklok. Aksi “penculikan” itu sangat mengecewakan Bung Karno, sebagaimana dikemukakan Lasmidjah Hardi (1984:60). Bung Karno marah dan  kecewa, terutama  karena para pemuda tidak mau mendengarkan pertimbangannya yang sehat. Mereka menganggap perbuatannya itu sebagai tindakan patriotik. Namun, melihat keadaan dan situasi yang panas, Bung Karno tidak mempunyai pilihan lain, kecuali mengikuti kehendak para pemuda untuk dibawa ke tempat yang  mereka tentukan. Fatmawati istrinya, dan Guntur yang pada waktu itu belum berumur satu tahun, ia ikut sertakan.
Rengasdengklok  kota kecil dekat Karawang  dipilih oleh para pemuda untuk mengamankan Soekarno-Hatta dengan perhitungan militer; antara anggota PETA (Pembela  Tanah Air) Daidan Purwakarta dengan Daidan Jakarta telah terjalin hubungan erat sejak mereka mengadakan latihan bersama-sama. Di samping itu, Rengasdengklok letaknya terpencil sekitar 15  km. dari Kedunggede Karawang. Dengan demikian, deteksi dengan mudah dilakukan terhadap setiap gerakan tentara Jepang yang mendekati Rengasdengklok, baik yang datang dari arah Jakarta maupun dari arah Bandung atau Jawa Tengah.
Sehari penuh, Soekarno dan Hatta berada di Rengasdengklok. Maksud para pemuda untuk menekan mereka, supaya segera melaksanakan Proklamasi Kemerdekaan terlepas dari segala kaitan dengan Jepang, rupa-rupanya tidak membuahkan hasil. Agaknya keduanya memiliki wibawa yang cukup besar. Para pemuda yang membawanya ke Rengasdengklok, segan untuk melakukan penekanan terhadap keduanya. Sukarni dan kawan-kawannya, hanya dapat mendesak Soekarno-Hatta untuk menyatakan proklamasi secepatnya seperti yang telah direncanakan oleh para pemuda di Jakarta . Akan tetapi, Soekarno-Hatta tidak  mau didesak begitu saja. Keduanya, tetap berpegang teguh pada perhitungan dan  rencana mereka sendiri. Di sebuah  pondok  bambu berbentuk panggung  di tengah persawahan Rengasdengklok, siang itu terjadi perdebatan panas; ” Revolusi berada di tangan kami sekarang dan kami memerintahkan Bung, kalau Bung tidak memulai revolusi malam ini, lalu …”. ” Lalu apa ?” teriak Bung Karno sambil beranjak dari kursinya, dengan kemarahan yang menyala-nyala. Semua terkejut, tidak seorang pun yang bergerak atau berbicara.
Waktu suasana tenang kembali. Setelah Bung Karno duduk. Dengan suara rendah ia mulai berbicara; ” Yang paling penting di dalam peperangan dan revolusi adalah saatnya yang  tepat. Di  Saigon, saya sudah merencanakan seluruh pekerjaan  ini untuk dijalankan tanggal 17 “. ” Mengapa justru diambil tanggal 17, mengapa  tidak sekarang saja, atau tanggal 16 ?” tanya Sukarni. ” Saya seorang yang percaya pada mistik”. Saya tidak dapat menerangkan dengan pertimbangan akal, mengapa tanggal 17 lebih memberi harapan kepadaku. Akan tetapi saya merasakan di dalam kalbuku, bahwa itu adalah saat yang baik. Angka 17 adalah angka suci. Pertama-tama kita sedang  berada  dalam bulan suci Ramadhan, waktu kita semua  berpuasa, ini berarti saat yang paling suci  bagi kita. tanggal 17 besok hari Jumat, hari Jumat itu  Jumat legi, Jumat yang berbahagia, Jumat  suci. Al-Qur’an diturunkan tanggal 17, orang Islam sembahyang 17 rakaat, oleh karena itu  kesucian angka 17 bukanlah buatan manusia “. Demikianlah antara lain dialog antara Bung Karno dengan para pemuda di Rengasdengklok sebagaimana ditulis Lasmidjah Hardi (1984:61).
Sementara itu, di Jakarta, antara Mr. Ahmad Soebardjo dari golongan tua dengan Wikana dari golongan muda membicarakan kemerdekaan yang   harus dilaksanakan  di Jakarta . Laksamana Tadashi Maeda, bersedia untuk menjamin keselamatan mereka selama berada di rumahnya. Berdasarkan kesepakatan itu, Jusuf Kunto dari pihak pemuda, hari itu juga mengantar Ahmad Soebardjo bersama sekretaris pribadinya, Sudiro, ke Rengasdengklok untuk menjemput Soekarno dan Hatta. Rombongan penjemput  tiba di Rengasdengklok sekitar pukul 17.00. Ahmad Soebardjo memberikan jaminan, bahwa Proklamasi Kemerdekaan akan diumumkan pada tanggal 17 Agustus 1945, selambat-lambatnya pukul 12.00. Dengan jaminan itu, komandan kompi PETA setempat, Cudanco Soebeno, bersedia melepaskan Soekarno dan Hatta kembali  ke Jakarta (Marwati Djoened Poesponegoro,  ed. 1984:82-83).
Merumuskan Teks Proklamasi
Rombongan Soekarno-Hatta tiba di Jakarta sekitar pukul 23.00. Langsung menuju rumah Laksamana Tadashi Maeda di Jalan Imam Bonjol No.1, setelah lebih dahulu menurunkan Fatmawati dan putranya di rumah Soekarno. Rumah Laksamada  Maeda, dipilih sebagai tempat penyusunan teks Proklamasi karena sikap Maeda sendiri yang memberikan jaminan keselamatan pada Bung Karno  dan tokoh-tokoh lainnya. De Graff yang dikutip Soebardjo (1978:60-61) melukiskan sikap Maeda seperti ini. Sikap dari Maeda tentunya memberi kesan aneh bagi orang-orang Indonesia itu, karena perwira Angkatan Laut ini selalu berhubungan dengan rakyat Indonesia.

Sebagai seorang perwira Angkatan Laut yang telah melihat lebih banyak dunia ini dari rata-rata seorang perwira Angkatan Darat , ia mempunyai pandangan yang lebih tepat tentang keadaan dari orang-orang militer yang agak sempit pikirannya. Ia dapat berbicara dalam beberapa bahasa. Ia adalah pejabat yang bertanggungjawab atas Bukanfu di Batavia;  kantor pembelian Angkatan Laut di Indonesia. Ia tidak khusus membatasi diri hanya pada tugas-tugas militernya saja, tetapi agar dirinya dapat  terbiasa dengan suasana di Jawa , ia membentuk suatu kantor penerangan bagi dirinya di tempat yang sama yang pimpinannya dipercayakan kepada Soebardjo. Melalui  kantor inilah, yang menuntut biaya yang tidak  sedikit  baginya,  ia  mendapatkan pengertian tentang masalah-masalah di Jawa lebih baik dari yang didapatnya dari buletin-buletin resmi Angkatan Darat. Terlebih-lebih ia memberanikan diri untuk mendirikan asrama-asrama bagi nasionalis-nasionalis muda Indonesia . Pemimpin-pemimpin terkemuka, diperbantukan sebagai guru-guru untuk mengajar di asrama itu. Doktrin-doktrin yang agak radikal dipropagandakan. Lebih lincah dari orang-orang militer, ia berhasil mengambil hati dari banyak nasionalis yang tahu pasti bahwa keluhan-keluhan dan keberatan-keberatan mereka selalu bisa dinyatakan kepada Maeda. Sikap Maeda seperti inilah yang memberikan keleluasaan kepada para tokoh nasionalis untuk melakukan aktivitas yang maha penting bagi masa depan bangsanya.
Malam itu, dari rumah Laksamana Maeda, Soekarno dan Hatta ditemani Laksamana Maeda menemui Somobuco (kepala  pemerintahan umum), Mayor Jenderal Nishimura, untuk menjajagi sikapnya mengenai pelaksanaan Proklamasi Kemerdekaan. Nishimura mengatakan bahwa karena Jepang sudah  menyatakan menyerah kepada Sekutu,  maka berlaku ketentuan bahwa tentara Jepang tidak diperbolehkan lagi mengubah status quo . Tentara Jepang diharuskan tunduk kepada perintah tentara Sekutu. Berdasarkan garis  kebi  jakan itu, Nishimura melarang Soekarno-Hatta  mengadakan rapat PPKI dalam rangka pelaksanaan Proklamasi Kemerde  kaan. Melihat kenyataan ini, Soekarno-Hatta sampai pada kesimpulan bahwa tidak ada gunanya lagi untuk membicara kan soal kemerdekaan Indonesia dengan Jepang. Mereka hanya  berharap agar pihak Jepang  tidak menghalang-ha  langi pelaksanaan  proklamasi kemerdekaan oleh rakyat Indonesia sendiri (Hatta, 1970:54-55).
Setelah pertemuan itu, Soekarno dan Hatta  kembali ke rumah Laksamana Maeda. Di ruang makan rumah Laksamana Maeda itu dirumuskan teks proklamasi kemerdekaan. Maeda, sebagai tuan rumah, mengundurkan diri ke kamar tidurnya di  lantai dua ketika peristiwa bersejarah itu berlangsung. Miyoshi, orang kepercayaan Nishimura, bersama Sukarni, Sudiro, dan B.M. Diah menyaksikan Soekarno, Hatta, dan Ahmad Soebardjo membahas rumusan teks Proklamasi. Sedangkan  tokoh-tokoh lainnya,  baik  dari golongan tua maupun  dari  golongan pemuda, menunggu di serambi muka.
Menurut Soebardjo (1978:109) di ruang makan rumah Laksamana Maeda menjelang tengah malam,  rumusan  teks Proklamasi yang akan dibacakan esok harinya disusun. Soekarno menuliskan  konsep proklamasi pada secarik kertas. Hatta dan Ahmad Soebardjo menyumbangkan pikirannya secara lisan. Kalimat pertama dari teks Proklamasi merupakan saran Ahmad Soebardjo yang diambil dari rumusan   Dokuritsu Junbi Cosakai , sedangkan kalimat terakhir merupakan sumbangan pikiran Mohammad Hatta. Hatta menganggap kalimat pertama hanyalah merupakan pernyataan dari kemauan bangsa Indonesia untuk menentukan nasibnya sendiri, menurut pendapatnya perlu ditambahkan pernyataan mengenai pengalihan   kekuasaan  (transfer of sovereignty). Maka dihasilkanlah rumusan terakhir dari teks proklamasi itu.
Setelah kelompok yang menyendiri di  ruang  makan itu selesai merumuskan teks Proklamasi, kemudian mereka menuju serambi muka untuk menemui hadirin yang berkumpul di  ruangan itu. Saat itu, dinihari menjelang subuh. Jam menunjukkan pukul 04.00, Soekarno mulai membuka pertemuan itu dengan membacakan rumusan teks Proklamasi yang masih merupakan konsep. Soebardjo (1978:109-110) melukiskan suasana ketika itu: “ Sementara teks Proklamasi ditik, kami  menggunakan kesempatan  untuk mengambil makanan dan minuman dari ruang  dapur, yang telah disiapkan sebelumnya  oleh tuan rumah kami yang telah pergi ke kamar tidurnya di tingkat atas. Kami  belum makan apa-apa, ketika meninggalkan Rengasdengklok. Bulan itu adalah bulan suci Ramadhan dan waktu hampir habis untuk makan sahur, makan terakhir sebelum sembahyang subuh. Setelah kami terima kembali teks yang telah  ditik, kami semuanya menuju ke ruang besar di bagian depan rumah. Semua orang berdiri dan tidak ada kursi di dalam ruangan. Saya  bercampur dengan  beberapa anggota Panitia di tengah-tengah ruangan. Sukarni berdiri  di samping  saya. Hatta berdiri mendampingi Sukarno menghadap para hadirin . Waktu menunjukkan pukul 04.00 pagi tanggal 17 Agustus 1945, pada saat Soekarno membuka  pertemuan dini hari itu dengan beberapa  patah kata.
“Keadaan yang mendesak telah memaksa  kita  semua mempercepat pelaksanaan Proklamasi Kemerdekaan. Rancangan teks telah  siap  dibacakan  di hadapan saudara-saudara dan saya harapkan benar bahwa saudara-saudara sekalian dapat menyetujuinya sehingga kita dapat berjalan terus dan menyelesaikan pekerjaan kita sebelum fajar menyingsing”. Kepada mereka yang hadir, Soekarno menyarankan agar bersama-sama  menandatangani  naskah proklamasi selaku wakil-wakil bangsa Indonesia . Saran itu diperkuat oleh Mohammad  Hatta dengan mengambil contoh pada “Declaration of Independence ” Amerika Serikat. Usul itu ditentang oleh pihak pemuda yang  tidak  setuju  kalau tokoh-tokoh  golongan tua yang  disebutnya  “budak-budak Jepang” turut menandatangani naskah proklamasi. Sukarni mengusulkan agar penandatangan naskah  proklamasi  itu cukup dua orang saja, yakni Soekarno dan Mohammad  Hatta atas  nama bangsa Indonesia . Usul Sukarni itu  diterima oleh hadirin.
Naskah  yang sudah  diketik oleh Sajuti Melik,  segera ditandatangani oleh Soekarno dan Mohammad Hatta. Persoalan  timbul mengenai  bagaimana Proklamasi itu harus diumumkan  kepada  rakyat  di seluruh Indonesia ,  dan juga ke seluruh pelosok dunia. Di mana dan dengan cara bagaimana hal ini harus diselenggarakan? Menurut  Soebardjo (1978:113), Sukarni kemudian memberitahukan bahwa rakyat Jakarta dan sekitarnya, telah diserukan untuk datang berbondong-bondong  ke lapangan IKADA pada  tanggal 17 Agustus  untuk mendengarkan Proklamasi  Kemerdekaan. Akan tetapi  Soekarno  menolak saran Sukarni. ” Tidak ,” kata Soekarno, ” lebih  baik dilakukan  di tempat kediaman saya di Pegangsaan  Timur. Pekarangan  di  depan  rumah cukup luas untuk ratusan orang. Untuk apa kita harus memancing-mancing  insiden ? Lapangan  IKADA adalah lapangan umum. Suatu rapat umum, tanpa diatur sebelumnya dengan penguasa-penguasa militer, mungkin akan menimbulkan salah faham. Suatu bentrokan  kekerasan antara rakyat dan penguasa militer yang akan membubarkan rapat umum tersebut, mungkin akan  terjadi. Karena itu, saya minta saudara sekalian untuk hadir di Pegangsaan  Timur 56 sekitar pukul 10.00 pagi .” Demikianlah keputusan terakhir dari pertemuan itu.
Detik-Detik Proklamasi
Hari  Jumat di bulan Ramadhan, pukul  05.00 pagi, fajar 17 Agustus 1945 memancar di ufuk timur. Embun pagi masih menggelantung di tepian daun. Para pemimpin bangsa dan para tokoh pemuda keluar dari rumah Laksamana Maeda, dengan diliputi kebanggaan setelah merumuskan teks Proklamasi hingga dinihari. Mereka, telah sepakat untuk memproklamasikan  kemerdekaan bangsa Indonesia hari  itu di rumah Soekarno, Jalan Pegangsaan Timur No. 56 Jakarta, pada pukul 10.00 pagi. Bung Hatta sempat berpesan kepada para  pemuda  yang bekerja pada pers dan  kantor-kantor berita, untuk memperbanyak naskah proklamasi dan menyebarkannya ke seluruh dunia (Hatta, 1970:53).

Menjelang pelaksanaan Proklamasi Kemerdekaan, suasana di Jalan Pegangsaan Timur 56 cukup sibuk. Wakil Walikota, Soewirjo, memerintahkan kepada  Mr. Wilopo untuk mempersiapkan peralatan yang diperlukan  seperti mikrofon dan beberapa pengeras suara. Sedangkan Sudiro memerintahkan kepada S. Suhud untuk mempersiapkan  satu tiang bendera. Karena situasi yang tegang, Suhud tidak ingat bahwa di depan rumah Soekarno itu, masih ada dua tiang bendera dari besi yang tidak digunakan. Malahan ia mencari sebatang bambu yang berada di  belakang rumah. Bambu  itu dibersihkan dan diberi  tali. Lalu ditanam beberapa langkah saja dari teras rumah. Bendera  yang dijahit  dengan  tangan oleh Nyonya  Fatmawati  Soekarno sudah disiapkan. Bentuk dan ukuran bendera itu tidak  standar, karena kainnya berukuran tidak  sempurna. Memang, kain itu awalnya tidak disiapkan untuk bendera.
Sementara  itu, rakyat yang telah mengetahui  akan dilaksanakan Proklamasi Kemerdekaan telah berkumpul. Rumah Soekarno telah dipadati oleh sejumlah massa pemuda dan rakyat yang berbaris teratur. Beberapa orang  tampak gelisah, khawatir akan adanya pengacauan dari pihak Jepang. Matahari semakin tinggi, Proklamasi belum juga dimulai. Waktu itu Soekarno terserang  sakit,  malamnya panas dingin terus  menerus  dan baru  tidur  setelah selesai merumuskan teks Proklamasi. Para undangan telah banyak  berdatangan, rakyat yang telah menunggu  sejak pagi, mulai tidak sabar lagi. Mereka  yang diliputi suasana tegang berkeinginan keras agar Proklamasi segera dilakukan. Para pemuda yang tidak sabar, mulai mendesak Bung Karno untuk segera membacakan  teks Proklamasi. Namun, Bung Karno tidak mau membacakan teks Proklamasi tanpa kehadiran Mohammad Hatta. Lima menit sebelum acara dimulai, Mohammad Hatta datang dengan pakaian putih-putih  dan langsung menuju kamar Soekarno. Sambil menyambut kedatangan Mohammad Hatta, Bung Karno bangkit dari tempat tidurnya, lalu berpakaian.  Ia  juga mengenakan stelan putih-putih. Kemudian keduanya menuju tempat upacara.
Marwati Djoened Poesponegoro (1984:92-94) melukiskan upacara pembacaan teks Proklamasi itu. Upacara itu berlangsung sederhana saja. Tanpa protokol. Latief Hendraningrat, salah  seorang  anggota  PETA, segera memberi aba-aba kepada seluruh barisan pemuda yang telah menunggu  sejak pagi untuk berdiri. Serentak semua berdiri tegak dengan sikap sempurna. Latief kemudian mempersilahkan Soekarno dan Mohammad Hatta  maju beberapa  langkah mendekati mikrofon. Dengan suara mantap dan jelas, Soekarno mengucapkan pidato pendahuluan singkat  sebelum membacakan teks proklamasi.
“Saudara-saudara sekalian ! saya telah minta saudara hadir di sini, untuk menyaksikan suatu peristiwa maha penting dalam sejarah kita. Berpuluh-puluh tahun kita bangsa Indonesia  telah berjuang untuk kemerdekaan tanah air kita. Bahkan telah beratus-ratus tahun. Gelombangnya aksi kita untuk mencapai kemerdekaan kita itu ada naiknya ada turunnya. Tetapi jiwa  kita tetap menuju ke arah cita-cita. Juga di dalam jaman Jepang, usaha kita untuk mencapai kemerdekaan nasional tidak berhenti. Di dalam jaman  Jepang ini tampaknya saja kita menyandarkan diri kepada  mereka. Tetapi pada hakekatnya, tetap kita menyusun tenaga kita sendiri. Tetap kita percaya pada kekuatan sendiri. Sekarang tibalah saatnya kita benar-benar mengambil  nasib bangsa dan nasib tanah air  kita  di dalam tangan kita sendiri. Hanya bangsa yang  berani mengambil nasib dalam tangan  sendiri, akan dapat berdiri dengan kuatnya. Maka kami, tadi malam telah mengadakan musyawarah dengan pemuka-pemuka rakyat Indonesia dari seluruh Indonesia , permusyawaratan itu seia-sekata  berpendapat,  bahwa sekaranglah  datang saatnya untuk menyatakan kemerdekaan kita.
Saudara-saudara! Dengan ini kami menyatakan kebulatan  tekad itu. Dengarkanlah Proklamasi kami: PROKLAMASI; Kami  bangsa Indonesia dengan ini menyatakan Kemerdekaan Indonesia . Hal-hal  yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain, diselenggarakan dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Jakarta , 17 Agustus 1945. Atas nama bangsa Indonesia Soekarno/Hatta.
Demikianlah saudara-saudara! Kita sekarang telah merdeka. Tidak ada satu ikatan lagi  yang mengikat tanah air kita dan  bangsa  kita! Mulai saat  ini kita menyusun  Negara  kita!  Negara Merdeka.  Negara Republik Indonesia  merdeka, kekal, dan abadi. Insya Allah, Tuhan memberkati kemerdekaan kita itu”. (Koesnodiprojo, 1951).
Acara, dilanjutkan dengan pengibaran bendera Merah Putih. Soekarno dan Hatta maju beberapa langkah menuruni anak tangga terakhir dari serambi muka, lebih kurang dua meter di depan tiang. Ketika S. K. Trimurti diminta maju untuk mengibarkan bendera, dia menolak: ” lebih baik seorang prajurit ,” katanya. Tanpa ada yang menyuruh, Latief Hendraningrat yang berseragam PETA berwarna hijau dekil maju ke dekat tiang bendera. S. Suhud  mengambil bendera dari  atas baki  yang  telah disediakan   dan mengikatnya pada tali dibantu oleh Latief Hendraningrat.
Bendera dinaikkan perlahan-lahan. Tanpa ada yang memimpin, para hadirin dengan spontan menyanyikan  lagu Indonesia Raya. Bendera dikerek dengan  lambat sekali, untuk menyesuaikan dengan irama lagu Indonesia Raya yang cukup panjang. Seusai pengibaran  bendera, dilanjutkan dengan pidato sambutan dari Walikota Soewirjo dan dr. Muwardi.
Setelah upacara pembacaan Proklamasi  Kemerdekaan, Lasmidjah Hardi (1984:77) mengemukakan bahwa ada sepasukan  barisan pelopor yang berjumlah kurang  lebih 100 orang di bawah pimpinan S. Brata, memasuki  halaman rumah Soekarno. Mereka datang terlambat. Dengan suara lantang  penuh kecewa S. Brata meminta agar Bung  Karno membacakan  Proklamasi sekali lagi.  Mendengar teriakan itu Bung  Karno tidak  sampai  hati,  ia  keluar  dari kamarnya. Di depan corong mikrofon ia menjelaskan bahwa Proklamasi hanya diucapkan satu kali dan berlaku untuk selama-lamanya. Mendengar  keterangan itu  Brata belum merasa puas, ia meminta agar Bung Karno memberi  amanat singkat. Kali ini permintaannya dipenuhi. Selesai  upacara itu rakyat masih belum mau beranjak, beberapa anggota Barisan Pelopor masih duduk-duduk bergerombol di depan kamar Bung Karno.
Tidak lama setelah Bung Hatta pulang, menurut Lasmidjah Hardi (1984:79) datang tiga orang pembesar Jepang. Mereka diperintahkan  menunggu di ruang belakang, tanpa  diberi kursi. Sudiro sudah dapat menerka, untuk apa mereka datang. Para anggota Barisan Pelopor mulai mengepungnya. Bung Karno sudah memakai piyama ketika Sudiro masuk, sehingga  terpaksa  berpakaian  lagi. Kemudian terjadi dialog antara utusan Jepang dengan Bung Karno: ” Kami  diutus oleh Gunseikan Kakka, datang kemari untuk melarang Soekarno mengucapkan Proklamasi .” ” Proklamasi sudah saya ucapkan,” jawab Bung  Karno dengan tenang. ” Sudahkah ?” tanya utusan Jepang itu keheranan. ” Ya, sudah !” jawab Bung Karno. Di sekeliling  utusan Jepang itu, mata para  pemuda melotot dan tangan mereka sudah diletakkan di atas golok masing-masing. Melihat kondisi seperti itu, orang-orang Jepang itu pun segera pamit. Sementara  itu, Latief Hendraningrat tercenung memikirkan kelalaiannya. Karena dicekam suasana tegang, ia lupa menelpon Soetarto dari PFN untuk mendokumentasikan peristiwa itu. Untung ada Frans Mendur dari IPPHOS yang plat filmnya tinggal tiga lembar (saat itu belum ada rol film). Sehingga dari seluruh peristiwa bersejarah  itu, dokumentasinya hanya ada  tiga; yakni sewaktu Bung Karno membacakan teks Proklamasi, pada saat pengibaran  bendera,  dan  sebagian  foto hadirin yang menyaksikan peristiwa itu.
Penutup
Peristiwa  besar  bersejarah yang  telah mengubah jalan sejarah bangsa Indonesia itu berlangsung  hanya satu  jam, dengan penuh kehidmatan. Sekalipun sangat sederhana, namun ia telah membawa perubahan  yang  luar biasa  dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia . “Gema lonceng kemerdekaan”  terdengar  ke seluruh   pelosok Nusantara dan menyebar ke seantero dunia. Para  pemuda, mahasiswa,  serta pegawai-pegawai bangsa Indonesia pada jawatan-jawatan perhubungan yang penting giat bekerja menyiarkan isi proklamasi itu  ke seluruh pelosok negeri. Para wartawan Indonesia yang bekerja pada kantor berita Jepang Domei , sekalipun telah disegel oleh pemerintah  Jepang, mereka berusaha menyebarluaskan gema Proklamasi itu ke seluruh dunia.